JAKARTA,KOMPAS.com - Kritik terhadap DPR yang dituding sebagai lembaga terkorup seringkali dikemukakan. Namun, DPR dinilai sudah mati rasa karena tidak juga melakukan upaya reformasi. Selain itu, partai politik (parpol) sebagai lembaga pencetak kader menjadi anggota dewan dinilai abai terhadap pengawasan kadernya di DPR.
"Kita berhadapan dengan DPR yang nampak tak hanya lembaga terkorup tetapi juga DPR yang berhati baja. Semua kritik dan teriakan publik sejauh ini tak kurang lantang disuarakan, tetapi pada saat yang sama DPR seakan mati rasa untuk sekadar melakukan upaya reformasi serius secara kelembagaan demi membersihkan lembaga itu dari korupsi," ujar peneliti Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus di Jakarta, Selasa (17/9/2013).
Dia mengatakan, para politisi di Senayan menikmati duduk di kursi anggota dewan dengan nyaman sebagai penguasa dan bukan sebagai negarawan. Sementara itu, parpol sebagai institusi yang paling bertanggung jawab atas perilaku korupsi wakil rakyat abai dalam dalam mengawasi kader-kadernya di DPR. Bahkan, parpol malah mendorong kadernya untuk melakukan tindakan korupsi.
Buktinya, ungkap Lucius, parpol kerap memberi respon lambat ketika ada anggotanya yang terjerat kasus korupsi. Bahkan, parpol sering membela kader yang bersangkutan.
"Hal itu menandakan ada simbiosis mutualisme antara parpol dan anggotanya di parlemen untuk melakukan penyimpangan," tukasnya.
Menurut Lucius, titik-titik korupsi di DPR berkaitan dengan fungsi-fungsi anggota dewan yaitu untuk membahas anggaran, melakukan pengawasan dan membuat regulasi. Kewenangan anggaran, lanjutnya, merupakan lahan paling potensial untuk melakukan praktek manipulasi.
"Kemudahan DPR dalam melakukan pembancakan anggaran dibantu oleh kewenangan nyaris absolut mereka untuk membahas mata anggaran hingga unit terkecil,” tambahnya kemudian.
Dalam bidang regulasi, sebenarnya DPR bisa melakukan banyak terobosan bagus jika anggotanya punya visi kenegarawanan. Fungsi pengawasan juga kerap menjadi bahan bancakan. Ironisnya kritik keras wakil rakyat saat mengevaluasi kinerja pemerintah seringkali merupakan isyarat untuk meminta transaksi di bawah tangan.
Fungsi ketiga juga tak kalah rentan dengan penyelewengan, yakni fungsi legislasi. Penyelewengan terjadi melalui pengaturan pasal-pasal dalam sebuah Undang-Undang.
“Dengan demikian hampir semua tugas utama kedewanan rentan dengan korupsi”ujarnya.
Sebelumnya, KPK mencatat DPR sebagai lembaga paling korup selama lima tahun berturut-turut. Penilaian itu berdasar penilaian indeks korupsi birokrasi.
"Hanya di Indonesia, parlemen yang korupsi 2009, 2010, 2011. Parlemen paling korup. Itulah unik Indonesia. Kelebihan parlemen kita mereka kreatif,” kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja pada kuliah “Upaya Pemberantasan Korupsi dan Anatomi Korupsi pada Pelaksanaan Pemilu” di gedung Komisi Pemilihan Umum (KPU), Senin (16/9/2013).
Editor : Caroline Damanik