Muh. Ma'rufin Sudibyo*KOMPAS.com - Sebagian umat Islam di Indonesia mendasarkan keputusan untuk berpuasa Ramadhan pada keputusan pemerintah Arab Saudi. Demikian pula umat Islam di mancanegara. Dengan menyandang status sebagai negeri yang menjaga kedua kota suci, yakni Mekkah dan Madinah, dan memiliki akar sejarah teramat panjang ke masa-masa terawal Islam, menjadikan Arab Saudi memiliki tarikan magnetis nan kuat di kalangan negara-negara Islam/berpenduduk Muslim dan komunitas Muslim di segenap penjuru.
Pemerintah Arab Saudi melalui Majelis al-Ifta’ al-A’laa telah memutuskan puasa Ramadhan dimulai pada Rabu 10 Juli 2013. Dari perspektif kalender Masehi (Tarikh Umum), keputusan ini serupa dengan dengan Keputusan Menteri Agama di Indonesia. Perbedaannya, bagi Arab Saudi 1 Ramadhan 1434 H adalah bertepatan dengan Selasa 9 Juli 2013, maka puasa Ramadhan kali ini sesungguhnya dimulai pada tanggal 2 Ramadhan 1434 H.
Iklim
Sebagai tanah tempat lahir dan tumbuh kembangnya generasi Islam terawal melalui Nabi SAW dan para sahabat, sistem penanggalan Bulan pun telah digunakan bagi bangsa Arab era pra Arab Saudi sejak lebih dari 14 abad silam. Demikian pula di era Nabi SAW yang dikenal sebagai kalender Hijriah yang mengacu kepada peristiwa hijrah dari kota suci Mekkah menuju Madinah, meski namanya baru diformalkan di masa Umar bin Khattab atau 17 tahun setelah kalender berjalan.
Sementara, bentuk bakunya telah dinyatakan dalam 10 Zulhijjah 10 H, yakni pada saat haji wada atau hanya berselang tiga bulan kalender sebelum Nabi SAW berpulang.
Sebelum haji wada tersebut, kalender masih berupa kalender lunisolar, yakni kalender yang berdasarkan atas periode sinodis Bulan dengan periode tropis Matahari (yakni selang waktu dia natra dua kejadian Matahari menempati titik musim panas yang berurutan) dan diwujudkan dalam aturan Naasi’. Maka, meski kalender saat itu berbasis 12 bulan kalender, dalam waktu-waktu tertentu dapat berjumlah 13 bulan kalender. Ini merupakan upaya bangsa Arab untuk mengompensasi peredaran Bulan dengan perubahan musim yang dipengaruhi peredaran semu Matahari, mengingat aktivitas keseharian mereka (yakni peternakan dan perdagangan) sangat dipengaruhi dinamika musim sedangkan peredaran Bulan berpengaruh pada tatanan politis dalam wujud penentuan bulan-bulan kalender yang terlarang untuk berperang.
Imbas penggunaan Naasi’ tercermin pada tonggak-tonggak penting sejarah Islam seperti perang Badar, Uhud dan Parit yang hari kejadiannya berselisih dibandingkan prediksi hari yang merujuk konversi kalender Hijriah ke dalam kalender Masehi (Tarikh Umum). Bahkan, seandainya konversi tersebut didasarkan pada definisi hilal yang sahih dan reliabel berbasis kriteria Odeh.
Hal serupa pun masih terlihat dalam peristiwa pasca 10 H. Misalnya, berpulangnya Nabi SAW, yang dalam sejarah tercatat terjadi pada Senin 12 Rabiul Awwal 11 H. Sebaliknya, konversi kalender berbasis kriteria Odeh mengindikasikan hari Senin itu justru bertepatan dengan 14 Rabiul Awwal 11 H, atau berselisih dua hari.
Bagaimana bentuk Naasi’ belumlah benar-benar dapat dipahami cendekiawan falak masa kini, meski indikasinya mengarah pada adanya penerapan bulan kalender tambahan (bulan kabisat) setiap 3 tahun sekali.
Adanya Naasi’ membuat setiap analisis terkait waktu terhadap peristiwa-peristiwa sebelum tahun 10 H menjadi bias. Misalnya terkait fakta puasa Ramadhan di era Nabi SAW lebih banyak berlangsung 29 hari ketimbang 30 hari tidak bisa serta merta menjadi bukti tentang definisi hilal versi mana, atau dengan kata lain “kriteria” versi siapa, yang paling tepat.
Penentuan awal bulan kalender tetap berdasarkan pada terdeteksinya hilal, yang sesuai dengan konteks zamannya maka dilakukan dengan mengandalkan ketajaman mata tanpa bantuan alat-alat optik (yang saat itu belum ditemukan). Dan bangsa Arab zaman itu telah cukup memahami fase-fase Bulan dan perubahannya serta status-status Bulan yang berbeda-beda, termasuk sebagai hilaal. Maka, tatkala hilal terdeteksi, perukyatnya segera melapor ke Nabi SAW selaku otoritas keagamaan dan politik, sehingga Nabi SAW-lah yang memutuskan kapan berpuasa Ramadhan atau berhari raya.
Karakteristik iklim Arabia yang lebih dipengaruhi iklim gurun turut menunjang proses rukyat hilal. Kita bisa melihatnya dengan membandingkan situasi kota suci Mekkah masa kini terhadap misalnya Jakarta dalam setahun Tarikh Umum. Mekkah hanya memiliki 12 hari hujan per tahun dengan kelembaban udara hanya 31 %. Bandingkan dengan Jakarta yang hari hujannya sampai 119 hari per tahun dan kelembaban udaranya sampai sebesar 61 %.
Dengan karakteristik aktivitas Matahari masa kini menyerupai aktivitas 14 abad silam dan tiadanya gangguan yang dapat memicu cuaca ekstrim dan hambatan lebih besar bagi cahaya, maka dapat dikatakan bahwa dinamika iklim masa kini relatif setara dengan masa 14 abad silam. Inilah faktor yang mungkin membuat proses pengamatan Bulan bangsa Arab masa itu menjadi lebih mudah, demikian pula rukyat hilal.
Perbedaan penetapan awal Ramadhan pada bangsa Arab mulai terjadi sejak era Dinasti Umayyah seperti terekam dalam hadis Kuraib. Hadis ini mendeskripsikan 1 Ramadhan 53 H bagi Damaskus (Syria sekarang), pusat Dinasti Umayyah, dimulai pada hari Jumat berdasarkan rukyat hilaal yang dilakukan khalifah Muawiyah dan penduduknya.
Sebaliknya, bagi kota suci Madinah, yang hanya berjarak 1.000 km saja dari Damaskus, 1 Ramadhan dimulai pada hari Sabtu berdasarkan rukyat hilal Ibnu Abbas dan penduduk Madinah. Analisis modern memperlihatkan elemen geometris Bulan di Madinah memang telah memenuhi kriteria Odeh pada Jumat 19 Agustus 673 sehingga 1 Ramadhan 53 H di Madinah memang bertepatan dengan Sabtu 20 Agustus 673.
Terlepas dari berbagai faktor di belakangnya, mulai dari kemungkinan salah lihat di Damaskus (karena ada Venus yang sangat terang di dekat posisi Bulan) hingga pertentangan politik antara Damaskus dan Madinah, perbedaan ini menjadi dasar diperbolehkannya perbedaan awal Ramadhan/hari raya antar wilayah yang lantas melahirkan konsep wilayatul hukmi.
Dimungkinkan
Keputusan Arab Saudi untuk memulai berpuasa Ramadhan pada tanggal 2 Ramadhan 1434 H memang mengejutkan. Namun, dengan status kalender Hijriah di kerajaan tersebut adalah juga menjadi kalender sipil yang digunakan dalam aktivitas sehari-hari, maka situasi seperti itu memang mungkin terjadi.
Sebuah kalender sipil telah ditentukan hari dan tanggalnya secara runtut sejak jauh-jauh hari sebelumnya lewat hisab dengan mengacu kepada aturan tertentu, yakni “kriteria” Ummul Qura bagi Arab Saudi. Sehingga urutan tersebut tak bisa diubah-ubah.
Sementara, puasa Ramadhan dikategorikan ibadah, yang bagi Arab Saudi hanya bisa ditentukan lewat rukyat, terlepas dari tata cara rukyat hilalnya yang masih tertinggal dibanding Indonesia. Maka, bila hasil rukyat hilal berselisih dengan hasil hisab, berkemungkinan terjadi ibadah puasa baru dimulai pada 2 Ramadhan seperti kali ini. Pun demikian dengan shalat Idul Fitri, yang bisa dilaksanakan pada 2 Syawwal.
Inilah yang membedakan Arab Saudi dengan negara Islam/berpenduduk mayoritas Muslim lainnya. Hanya Arab Saudi yang memisahkan kalendernya (meski berbentuk kalender Hijriah) dengan aktivitas ibadah terkait waktu seperti puasa Ramadhan dan shalat hari raya. Sebaliknya, negara-negara lainnya justru mencoba untuk mengaitkan keduanya.
Editor : Inggried Dwi Wedhaswary