KOMPAS.com - ”Saya orang DPR. Setelah nyemplung di sana, saya tahu sendiri sepak terjang partai politik. Demokrat bukan satu-satunya partai korup,” begitulah gaya blakblakan Permadi, mantan politisi PDI-P yang kini menjadi politisi di Partai Gerindra.
Tanpa tedeng aling-aling, Permadi tidak menampik Partai Gerindra pun tidak luput dari modus-modus korupsi. Permadi menyebutkan mulai dari yang recehan, seperti pemilihan fasilitas kelas penerbangan. Semestinya kelas bisnis, diubah menjadi ekonomi supaya anggaran bisa dikantongi.
Modus lain, ada anggota Dewan yang tugas ke luar negeri, tetapi tidak berangkat. Namun, uang tetap dicairkan untuk dikantongi. Mereka titip tanda tangan nota perjalanan dinas. Ada lagi modus memotong hari penugasan. Artinya, ditugaskan tujuh hari, tetapi hanya berangkat dua hari. ”Sekali lagi, uang dinas utuh selama tujuh hari, supaya bisa dikantongi,” ujar Permadi dalam diskusi Peluang dan Tantangan Menuju Indonesia Bebas Korupsi, Narkoba, dan Terorisme yang diselenggarakan Forum Masyarakat Katolik Indonesia bekerja sama dengan Wanita Katolik Republik Indonesia, di Jakarta, Sabtu (2/3).
Modus korupsi juga dilakukan sewaktu masa reses DPR. Anggota Dewan semestinya bertemu konstituen. Nyatanya, hanya Rp 2,5 juta saja yang dibagi-bagikan ke konstituen di daerah. Itu pun dibagikan oleh sopir. ”Sisanya, sekali lagi, dikantongi,” ujar Permadi.
Tak hanya di DPR, di kementerian pun tidak luput dari praktik korupsi. Permadi memberi contoh kementerian politisi. Kasus dugaan korupsi daging impor sapi yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera dan sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian disebut sebagai contoh. Juga korupsi di Kementerian Agama.
Walau Partai Demokrat disebut bukan satu-satunya parpol korup, Permadi tetap menuding Susilo Bambang Yudhoyono selaku pendiri partai dan pembina Demokrat. Menurut dia, publik telah dibohongi. Lihat saja iklan ”Katakan Tidak pada Korupsi!”. Bintang iklannya adalah Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum. ”Seharusnya, SBY meminta maaf kepada publik karena telah khilaf menempatkan orang-orangnya dalam iklan,” ujar Permadi.
Korupsi, di mata anggota DPR dari Partai Hanura, Miryam Haryani, begitu gampang diketahui indikatornya. Ketika terlihat kesejahteraan masih rendah, kemiskinan tinggi, pengangguran membengkak, lapangan pekerjaan belum terbuka, dan biaya pengobatan mahal, itulah hancurnya kebijakan yang berpihak kepada rakyat. Korupsi masih terjadi di dalamnya.
Tak bisa mengelak
Politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul tidak bisa mengelak. Figur pemimpin Demokrat, Anas Urbaningrum, menjadi bahan pembicaraan yang dianggapnya memprihatinkan dan memalukan. Apalagi, menurut Ruhut, dalam kisah-kisah membuka ”halaman Anas” yang ditampilkan di media belakangan ini, Anas tampil bagai pahlawan. Tidak sedikit yang datang ke rumah Anas. Semua itu tidak lebih disebut Ruhut sebagai BHS alias barisan sakit hati.
”Tunggu saja. Kita mesti melihat jilid pertama yang menjadi kenyataan, yaitu kau (Anas) ditangkap. Jilid kedua, setelah dijadikan tersangka, masuklah penjara. Jilid ketiga, diproseslah menjadi terdakwa. Lalu, jilid keempat, kau menjadi terpidana. Yang jelas ancamannya 20 tahun penjara. Jilid kelima, masuklah ke penjara,” ujar Ruhut.
Dia mengaku, setahun lalu, Anas menyuruhnya membedah kasus mantan Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin. Dibedah bagaimanapun, Anas tetap tersangkut sehingga dirinya memberanikan diri meminta Anas mundur.
Berbagai modus dan politisi yang tersangkut korupsi ini tak mengherankan di mata Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang. Cikal bakalnya dari perekrutan calon anggota legislatif.
”Partai hanya mengedepankan nafsu ingin menang dan berkuasa. Akibatnya, orang- orang yang punya popularitas dan uanglah yang dicalonkan. Menang dulu, persoalan mampu dan kompeten mewakili rakyat urusan belakangan. Akibatnya, boloslah menyuarakan aspirasi rakyat, tidak mampu bertahan menuntaskan undang-undang yang butuh waktu berjam-jam, dan jalan pintaslah ditempuh, lalu tergilincirlah di lembah korupsi,” ujar Sebastian.
Mendapati kondisi ini, tugas berat ada di Komisi Pemilihan Umum. Target KPU meningkatkan partisipasi Pemilu 2014 menjadi 75 persen dari 71 persen dalam Pemilu 2009. Mampu? (Stefanus Osa)
Editor :
Inggried Dwi Wedhaswary