Lewati untuk mencari.
Profesor Bakdi Soemanto Wafat
Written By Unknown on Sabtu, 11 Oktober 2014 | 12.08
Lewati untuk mencari.
Perppu Kegentingan MK
Written By Unknown on Jumat, 10 Oktober 2014 | 12.28
Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.
Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.
Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.
Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).
Perekrutan
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.
Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.
Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.
Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.
Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.
Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.
Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.
Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.
Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.
Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.
Revisi UU
Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.
Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.
MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.
Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.
Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.
Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.
Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
Ducati Panigale 1199 S Edisi Ayrton Senna
Written By Unknown on Kamis, 09 Oktober 2014 | 13.00
Bologna, KompasOtomotif – Dua puluh tahun sepeninggal superstar F1 asal Brazil, Ayrton Senna, Ducati menawarkan versi spesial Panigale 1199, eksklusif untuk pasar Negeri Samba. Hanya tersedia 161 unit, diproduksi untuk menghormati Senna sekaligus warga Brazil. Dijadwal, Juni 2014 edisi khusus sudah ada di showroom.
Warna spesial abu-abu dengan pelek merah adalah pilihan Senna ketika mengunjungi pabrik Ducati, hanya beberapa minggu sebelum balap terakhir merenggut nyawanya di Imola pada 1994. Model ini akan dilengkapi saluran gas buang khusus balap, dengan model diberi nomor produksi di sekitar garpu depan.
Sebenarnya, ini bukanlah pertama kali Ducati melepas edisi khusus Senna. Pada 1995 ada 916SP dengan warna yang sama, diproduksi hanya 300 unit. Varian itu kemudian disebut 916 Senna I, lalu diikuti 916 Senna II dan III pada 1997 dan 1998.
Ini adalah bagian dari kesepakatan kerjasama bersama Senna Foundation, memberikan sumbangsih sosial dan edukasi kepada masyarakat. Panigale 1199 S Senna nomor 1 dari 161 akan dipajang di stan Ducati dalam Motorcycle Show di Sao Paulo dalam waktu dekat, bersanding dengan Ducati 916 Senna.
Perppu Kegentingan MK
Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.
Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.
Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.
Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).
Perekrutan
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.
Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.
Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.
Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.
Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.
Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.
Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.
Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.
Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.
Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.
Revisi UU
Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.
Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.
MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.
Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.
Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.
Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.
Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
]rH}ﯨFLeܞDLKEG(Eh%Yz?ed3oif-Pu9ɓUYصb*WLЖW*W{(<8[aq;><$o|ȕd6=Ɂ".~#U|+{214p&"Hx0I8Qwu>³iam$GNf?e3RE+Z1D,kaޙy"\:`DR2fY2kz'{f*Ta*6k>yoҵo?Ǣ{O4ROOO}'C`zNL&Uz!N9;y`CWD0rqhM\F2d|/՟䯓?9jD<.j8P 5|jfa5Ju$*h0fcOvDNWv|^YoY0v>wï7Uճ˧}vv/Gyq6vkeA/މ`<[ Stm7lqu`$K~hMBЗ}O1484\qb$$ѰL# ^+V(l3yB\.'Of'agad@aS4١|F VaPc'r=+p&,Ȣ>i@%Fc0(HO:ޅeUjڠvh9cǢG\#v$Ī0xI&J)7&q[5&3Vs#cNaw/z!дپ5/Xy3fDb /k$Ґڿ{3kJ-j.ӥa\r$?0mWXg0=䤈܃_8ᱶ}~ȌyAô:[$"筊J-rc#xrB,%J <;Yy-?MOjjYFOVQ}=~P|dkZ|HF HV)Jp5PcHn^48h( q(HH U[e}=H'Oxn@RUD\bR ,Ga[Ihs7l1| Ĉ'rDB> V:.W8q@"; @]d %A# W& )*h.EhSH?W7+V_Ofܬ4r#+x^f5z[^>)YkULQ֖*>]:fXe148CA1!M"XeQ+ݑ=j5>^߿qWϗWfy?eX͵sNTC@9,>s8RB"l,&2)kΡ=P-߇~;ah XzUYDڀ_#KǣtVI{)U]Vu4uŦ췯ӠkUMH08uFƏgsEv*bWlIL-ӃWI<݂6 :3axy{ήPN_0uJ^3b٬5zy@}fk_:Qh&`"Ύ">"IBm~ ,fH GYƈd)x YFs֨+c}Zy~*O&Qv`1aҷ~nU\eR^ܝbCc2k0<<E]ˁd&|q$SXQ)g4TLXKI/h|]TmC2"He_7Y& 美iydU41Vis##˪y}dk"&_DCNe:8V3E}*ÀO0Tgzf(8$pSKr J5sr RjTwp잼}nRܸW\Y,s:-]ш3=HwI-<=JU`BRFMM$_zXijgrP;07Fb̹a>IݿE1fPjWV#W̷ ZpwLah=T=ɐJfHR~y?+UzVom?+3>1{L1.@r} QGuIMqdCɆ T0 &Wfu{H:44|0V{Yis@Tڱ#^)v _}7T?Zs?M*To+i}\ik36fg!w-ni3fu< _SCwc\&Rݲo2h HLpc@Q*UR.?8$R.cZeC,UFmV`@O\g䑂Hhw9A8`'r4<եUŢ$Nf[xq0#xq<$!CHt~rase f6,Vքb>'Y[8h0+@Gx*O7)OɲikK;: p6]m%ɣ@l~ju pj4j~Y+z^3֬o֬?YχUx$N~;i0v65&Fi< PcBᗘ B sbS_#'wN;O:QFĪ%YrK7y8=&mؾ/!mgiҴ CȣwYELzMTHm+_5 ?IJD%ڮqz9Ff^`Biz"Piuf+m}<[O3rb5V~WR~=*~TlkFf͇tpD;
+\(-bazh\[٬wFk3=/_O{IF/BіbuU{z2%L"M ŲXcE)ĝL#Ne,ˬʰj4wLUq|]6E$Qt#KU̚o,MJh%Xix-tw}.0ciY+Έ'X+_DP,UӠ@1L_]GʠyHᑹCiaE1PuF\dm],\)i˴Lpd'|qџJ %YGz7"V56NR;r(i7]3KbxաQYύ(Z$yM I[K[KO9Ya$FHB#u{c!VSƐ4ZAzUʫܼ}_u+zzHrK4\eO g aN> ߀ܴm[1Bet h,}zwV~" _5[bɶ<]˝uV{'v! G oV+Ү;<1L$S"`/#3t0xI0XxugO{vvvPvssYעf@Ͷfvkff6oԢ0y]AN Fo5qdd٨4V/}m 5?ջҩuuڪjus$/0#xCڻq}'㵻Naj<
Nt3ץ sFJ'YE{AFd^5(FS ^ĜZ] ő~Y#IXa(07H._c4H`&\o"V/sJ~)n0r>ѷWr&NyDb8 &0j`LJiej1_Jj<Ӂ"3 qy"!p: X?AwU_7}Q{0he̕Z#ORYmV+5^F=/_ښϭg>$`ҡ%4pıP-ړs2a%&HOE4EHNER|rV4mЮ75>H9guGj/IJyL3<ؼltҨ`S(MO /+%z1"EyK*ڔMK%L
}d5|=7vl9\"- =a{eR0=˓>iGX1_qO.XYCst|,X :@z.՛Z%o+j^Fwk|Hΰ;Uw楸Yoe>0ݚNJ2Q#%"mA^O0eA˕z \; >;!`]D%00+̕a=)>i]zw;w0g]Km!Uj+o/WmMoM&8xڢp208]^>0\aPVB0e+nz"ާO~ |ۻ=5ܾ`0zgɛ? "5vHR#>#x7F|! ?y%`0Ґ[L爠y7v--dnJIϸ0%)@{uc(xO)dvȥG!Sa<{Yj.^*@`_TݵԞa/lMք= ߑAbPPKt# 'P0 9Xљ 1\cղUXՋ}Oaơ_\usd.a-r@ײ|tY,Dܥz_17NҭHqﱐ|@H=qT=vDa F|zO;l ']0WEe>A~8 ڂ{ТNqZ?(pqư~2ԚVJgx^HҰz[/er*ȱ#tqpp ǂZ VDYtE,cDp2L0wXiǽÁ}2>.ۅ\\̬x?RRlwa|]Gb}I6 )`BYcc$}v4qv2ƃE`X\6(K*m*(jZtqiX#qoZL1V7:x0=7'KtR*:XDMmRO`)d_G04s;X,HM[uCY [J}`nuIbtCქ(N `d08W,m p^�Yw]njr^R�5[5/Tg{ד6&0u,; fCii:XK5ljT?&YSsQ| _otJ@VXȒHM[YP[1wc[?XHzsX,m3?-,#:,@GozҎT$À~9$$4;rˎ큱)w^f/繴ڙfp[<ԅ#ʮftvyh 5QNC(j肠]eQA,Vɪ*ek 8;x{+_v:Gq+}nm8/;yV3НbK/`ݺ, UߙɛÝJr,α$%^9xx#@V>; k隶]Ϻ\ӏå:dItn?eMc " }m /u?K8>ంUjwRT*TutBG*?0a"b9E B܉(dR-߄JS*p{(y/!}!7V$iVUzv{=nvpg3`h.N-pA%k;`Fn(İ00e))|VVn㡽/^60B揇{KK^ֱM1Ba1OUBlN~!iaݹyg)]2 l+x[@ow'bt8xtL|1}Cy)RdRJfZ\ʎPό-)&V wP=1S؉"C+ڑkU[Hrp),B[m):e&*#za'ˡIX*cu+ޅ]>Ey pkV{kiV;[#93nPݽ(\[#>mIۃL 㴩{Sh/ ;zkĩ\}-׀ϬT+5{S:ߓ=tzZJi{Gog9#nb]Q{[|O�o4tNHR= J^L}[ T xF<27xO|~~uN@u!^mA߇1`wȗ!iYj~ta=6dqq]i u @{7ty^p>5&X0XZ͠Y,ګrZ.b48T8SsZl|ѣZW/B,Pc` p"dUyhͩxfcoGvDy} <`Y" X^ =m|ՉcW:JN{;"5&sk Hh(f2oqVi7{-*d][sJ~?Bq#$.:[8$`l쾤$XBu1q~-mwH`^#@[\{ގ쁵QjR;mE;sYw|UN(!ϋU)xضQ=z:7B>A jXE*1kWv>7zBR~,.(r)o1M;=O$!>j8uO%.y|Bsy cn C~٭ld ɍTq|ay"S#SxJB+|I@gx owol$H0 i۞-JhAڡjK,v%rd3"t0k~;>ۯ[K`-fuc_\y~13$.F)k{$įΘ[IyhʆߵSG6 XX´дa@`')8-Y'g)SVT9~~jduP\-`yXK"=;4oMQhGe}kj} zߔkY\ZsYg`̨R T[3=&zUYhNwr|`0X*itumTkUۮOs<ıcQKlBE??Om,cp%Ih[Ry\&J\@)W-AdmTիԩ Dk)WQ<[lmU؊QjRS?jʢr\CDҨ1IWmEo;Oƴ3wI'59&3O*/hV%+MYM'` ={X?ax4CaXvTh"|O;N,w hA&pU.@"v #+5TL|{;£0̪#} gu 7/H qT:t)v ̊IadlrGj+frtPy8:ӛ=:zvNgF2֜}z3fN-p<
Td+lu!k۱UQ[QvDe# tXEj41EOapu؍Xj4WhOQr]JKa=b+$Um%0pb<,瓶rx5 O<KQYB ,M+WncSAk7u6ڵjaeo_ܭ\]R*,ƸÂ9 ^M|9D覩v(,ƞ(RQ|$b`97H4ۧ_c!4k Q cn벵sTOTDīaHYT+;ĵ46Roއ^|lŋЬݕH#Nޱ{ԩpcQ&͌ T#hm5YuE#(.7{ۭP*RLez 08^3"lR$B"łJN!Bi̚\_t&wW/?w_k~b>v2LcUj~R bkLrxl؛g*>_үdH/'֧.MPJ @@/:v*C?3,| 6\ok>Ffnh.RUUU* E`yյ!/dKcȜ")(\Ҩ7 O'W:͇FR(S{u)wy}+*AyF\7̑ݜZ)YQ2$ɋbۍJwDd$o}ބ /yv KlzvhPrREasb/đl~{lнEk%;P&[ݰJKe\*qAטeS=:x1<@S1SGx[5ocD:OO0Ke39+@Uuc鿿]K>E~7B'dSx#pqr"dHF nϒ)$K( RESWdճ.8f26t$Pʎԝ( @:rT[bŴ]1NP@^N8sY *mė5U%{\]ZjE4|x͝$[u`퍄楑ͶȪ>3F翙[;T-mAT qbq mИa#;6ń0Ho;S$2DYLD`i24aєZÏ?/Apz4.ܬ6Z+sx]s/4:-GT>P*HlCAiɗ&*XG `&YP~+1J"GȒd1@`Gŋϑc & [jMj(QUHK54KOJу4CD> L!7Pi^vjBHF)VT00"#SgHak5+f
]rH}ﯨFLeܞDLKEG(Eh%Yz?ed3oif-Pu9ɓUYصb*WLЖW*W{(<8[aq;><$o|ȕd6=Ɂ".~#U|+{214p&"Hx0I8Qwu>³iam$GNf?e3RE+Z1D,kaޙy"\:`DR2fY2kz'{f*Ta*6k>yoҵo?Ǣ{O4ROOO}'C`zNL&Uz!N9;y`CWD0rqhM\F2d|/՟䯓?9jD<.j8P 5|jfa5Ju$*h0fcOvDNWv|^YoY0v>wï7Uճ˧}vv/Gyq6vkeA/މ`<[ Stm7lqu`$K~hMBЗ}O1484\qb$$ѰL# ^+V(l3yB\.'Of'agad@aS4١|F VaPc'r=+p&,Ȣ>i@%Fc0(HO:ޅeUjڠvh9cǢG\#v$Ī0xI&J)7&q[5&3Vs#cNaw/z!дپ5/Xy3fDb /k$Ґڿ{3kJ-j.ӥa\r$?0mWXg0=䤈܃_8ᱶ}~ȌyAô:[$"筊J-rc#xrB,%J <;Yy-?MOjjYFOVQ}=~P|dkZ|HF HV)Jp5PcHn^48h( q(HH U[e}=H'Oxn@RUD\bR ,Ga[Ihs7l1| Ĉ'rDB> V:.W8q@"; @]d %A# W& )*h.EhSH?W7+V_Ofܬ4r#+x^f5z[^>)YkULQ֖*>]:fXe148CA1!M"XeQ+ݑ=j5>^߿qWϗWfy?eX͵sNTC@9,>s8RB"l,&2)kΡ=P-߇~;ah XzUYDڀ_#KǣtVI{)U]Vu4uŦ췯ӠkUMH08uFƏgsEv*bWlIL-ӃWI<݂6 :3axy{ήPN_0uJ^3b٬5zy@}fk_:Qh&`"Ύ">"IBm~ ,fH GYƈd)x YFs֨+c}Zy~*O&Qv`1aҷ~nU\eR^ܝbCc2k0<<E]ˁd&|q$SXQ)g4TLXKI/h|]TmC2"He_7Y& 美iydU41Vis##˪y}dk"&_DCNe:8V3E}*ÀO0Tgzf(8$pSKr J5sr RjTwp잼}nRܸW\Y,s:-]ш3=HwI-<=JU`BRFMM$_zXijgrP;07Fb̹a>IݿE1fPjWV#W̷ ZpwLah=T=ɐJfHR~y?+UzVom?+3>1{L1.@r} QGuIMqdCɆ T0 &Wfu{H:44|0V{Yis@Tڱ#^)v _}7T?Zs?M*To+i}\ik36fg!w-ni3fu< _SCwc\&Rݲo2h HLpc@Q*UR.?8$R.cZeC,UFmV`@O\g䑂Hhw9A8`'r4<եUŢ$Nf[xq0#xq<$!CHt~rase f6,Vքb>'Y[8h0+@Gx*O7)OɲikK;: p6]m%ɣ@l~ju pj4j~Y+z^3֬o֬?YχUx$N~;i0v65&Fi< PcBᗘ B sbS_#'wN;O:QFĪ%YrK7y8=&mؾ/!mgiҴ CȣwYELzMTHm+_5 ?IJD%ڮqz9Ff^`Biz"Piuf+m}<[O3rb5V~WR~=*~TlkFf͇tpD;
+\(-bazh\[٬wFk3=/_O{IF/BіbuU{z2%L"M ŲXcE)ĝL#Ne,ˬʰj4wLUq|]6E$Qt#KU̚o,MJh%Xix-tw}.0ciY+Έ'X+_DP,UӠ@1L_]GʠyHᑹCiaE1PuF\dm],\)i˴Lpd'|qџJ %YGz7"V56NR;r(i7]3KbxաQYύ(Z$yM I[K[KO9Ya$FHB#u{c!VSƐ4ZAzUʫܼ}_u+zzHrK4\eO g aN> ߀ܴm[1Bet h,}zwV~" _5[bɶ<]˝uV{'v! G oV+Ү;<1L$S"`/#3t0xI0XxugO{vvvPvssYעf@Ͷfvkff6oԢ0y]AN Fo5qdd٨4V/}m 5?ջҩuuڪjus$/0#xCڻq}'㵻Naj<
Nt3ץ sFJ'YE{AFd^5(FS ^ĜZ] ő~Y#IXa(07H._c4H`&\o"V/sJ~)n0r>ѷWr&NyDb8 &0j`LJiej1_Jj<Ӂ"3 qy"!p: X?AwU_7}Q{0he̕Z#ORYmV+5^F=/_ښϭg>$`ҡ%4pıP-ړs2a%&HOE4EHNER|rV4mЮ75>H9guGj/IJyL3<ؼltҨ`S(MO /+%z1"EyK*ڔMK%L
}d5|=7vl9\"- =a{eR0=˓>iGX1_qO.XYCst|,X :@z.՛Z%o+j^Fwk|Hΰ;Uw楸Yoe>0ݚNJ2Q#%"mA^O0eA˕z \; >;!`]D%00+̕a=)>i]zw;w0g]Km!Uj+o/WmMoM&8xڢp208]^>0\aPVB0e+nz"ާO~ |ۻ=5ܾ`0zgɛ? "5vHR#>#x7F|! ?y%`0Ґ[L爠y7v--dnJIϸ0%)@{uc(xO)dvȥG!Sa<{Yj.^*@`_TݵԞa/lMք= ߑAbPPKt# 'P0 9Xљ 1\cղUXՋ}Oaơ_\usd.a-r@ײ|tY,Dܥz_17NҭHqﱐ|@H=qT=vDa F|zO;l ']0WEe>A~8 ڂ{ТNqZ?(pqư~2ԚVJgx^HҰz[/er*ȱ#tqpp ǂZ VDYtE,cDp2L0wXiǽÁ}2>.ۅ\\̬x?RRlwa|]Gb}I6 )`BYcc$}v4qv2ƃE`X\6(K*m*(jZtqiX#qoZL1V7:x0=7'KtR*:XDMmRO`)d_G04s;X,HM[uCY [J}`nuIbtCქ(N `d08W,m p^�Yw]njr^R�5[5/Tg{ד6&0u,; fCii:XK5ljT?&YSsQ| _otJ@VXȒHM[YP[1wc[?XHzsX,m3?-,#:,@GozҎT$À~9$$4;rˎ큱)w^f/繴ڙfp[<ԅ#ʮftvyh 5QNC(j肠]eQA,Vɪ*ek 8;x{+_v:Gq+}nm8/;yV3НbK/`ݺ, UߙɛÝJr,α$%^9xx#@V>; k隶]Ϻ\ӏå:dItn?eMc " }m /u?K8>ంUjwRT*TutBG*?0a"b9E B܉(dR-߄JS*p{(y/!}!7V$iVUzv{=nvpg3`h.N-pA%k;`Fn(İ00e))|VVn㡽/^60B揇{KK^ֱM1Ba1OUBlN~!iaݹyg)]2 l+x[@ow'bt8xtL|1}Cy)RdRJfZ\ʎPό-)&V wP=1S؉"C+ڑkU[Hrp),B[m):e&*#za'ˡIX*cu+ޅ]>Ey pkV{kiV;[#93nPݽ(\[#>mIۃL 㴩{Sh/ ;zkĩ\}-׀ϬT+5{S:ߓ=tzZJi{Gog9#nb]Q{[|O�o4tNHR= J^L}[ T xF<27xO|~~uN@u!^mA߇1`wȗ!iYj~ta=6dqq]i u @{7ty^p>5&X0XZ͠Y,ګrZ.b48T8SsZl|ѣZW/B,Pc` p"dUyhͩxfcoGvDy} <`Y" X^ =m|ՉcW:JN{;"5&sk Hh(f2oqVi7{-*d][sJ~?Bq#$.:[8$`l쾤$XBu1q~-mwH`^#@[\{ގ쁵QjR;mE;sYw|UN(!ϋU)xضQ=z:7B>A jXE*1kWv>7zBR~,.(r)o1M;=O$!>j8uO%.y|Bsy cn C~٭ld ɍTq|ay"S#SxJB+|I@gx owol$H0 i۞-JhAڡjK,v%rd3"t0k~;>ۯ[K`-fuc_\y~13$.F)k{$įΘ[IyhʆߵSG6 XX´дa@`')8-Y'g)SVT9~~jduP\-`yXK"=;4oMQhGe}kj} zߔkY\ZsYg`̨R T[3=&zUYhNwr|`0X*itumTkUۮOs<ıcQKlBE??Om,cp%Ih[Ry\&J\@)W-AdmTիԩ Dk)WQ<[lmU؊QjRS?jʢr\CDҨ1IWmEo;Oƴ3wI'59&3O*/hV%+MYM'` ={X?ax4CaXvTh"|O;N,w hA&pU.@"v #+5TL|{;£0̪#} gu 7/H qT:t)v ̊IadlrGj+frtPy8:ӛ=:zvNgF2֜}z3fN-p<
Td+lu!k۱UQ[QvDe# tXEj41EOapu؍Xj4WhOQr]JKa=b+$Um%0pb<,瓶rx5 O<KQYB ,M+WncSAk7u6ڵjaeo_ܭ\]R*,ƸÂ9 ^M|9D覩v(,ƞ(RQ|$b`97H4ۧ_c!4k Q cn벵sTOTDīaHYT+;ĵ46Roއ^|lŋЬݕH#Nޱ{ԩpcQ&͌ T#hm5YuE#(.7{ۭP*RLez 08^3"lR$B"łJN!Bi̚\_t&wW/?w_k~b>v2LcUj~R bkLrxl؛g*>_үdH/'֧.MPJ @@/:v*C?3,| 6\ok>Ffnh.RUUU* E`yյ!/dKcȜ")(\Ҩ7 O'W:͇FR(S{u)wy}+*AyF\7̑ݜZ)YQ2$ɋbۍJwDd$o}ބ /yv KlzvhPrREasb/đl~{lнEk%;P&[ݰJKe\*qAטeS=:x1<@S1SGx[5ocD:OO0Ke39+@Uuc鿿]K>E~7B'dSx#pqr"dHF nϒ)$K( RESWdճ.8f26t$Pʎԝ( @:rT[bŴ]1NP@^N8sY *mė5U%{\]ZjE4|x͝$[u`퍄楑ͶȪ>3F翙[;T-mAT qbq mИa#;6ń0Ho;S$2DYLD`i24aєZÏ?/Apz4.ܬ6Z+sx]s/4:-GT>P*HlCAiɗ&*XG `&YP~+1J"GȒd1@`Gŋϑc & [jMj(QUHK54KOJу4CD> L!7Pi^vjBHF)VT00"#SgHak5+f
Ducati Panigale 1199 S Edisi Ayrton Senna
Written By Unknown on Rabu, 08 Oktober 2014 | 12.59
Bologna, KompasOtomotif – Dua puluh tahun sepeninggal superstar F1 asal Brazil, Ayrton Senna, Ducati menawarkan versi spesial Panigale 1199, eksklusif untuk pasar Negeri Samba. Hanya tersedia 161 unit, diproduksi untuk menghormati Senna sekaligus warga Brazil. Dijadwal, Juni 2014 edisi khusus sudah ada di showroom.
Warna spesial abu-abu dengan pelek merah adalah pilihan Senna ketika mengunjungi pabrik Ducati, hanya beberapa minggu sebelum balap terakhir merenggut nyawanya di Imola pada 1994. Model ini akan dilengkapi saluran gas buang khusus balap, dengan model diberi nomor produksi di sekitar garpu depan.
Sebenarnya, ini bukanlah pertama kali Ducati melepas edisi khusus Senna. Pada 1995 ada 916SP dengan warna yang sama, diproduksi hanya 300 unit. Varian itu kemudian disebut 916 Senna I, lalu diikuti 916 Senna II dan III pada 1997 dan 1998.
Ini adalah bagian dari kesepakatan kerjasama bersama Senna Foundation, memberikan sumbangsih sosial dan edukasi kepada masyarakat. Panigale 1199 S Senna nomor 1 dari 161 akan dipajang di stan Ducati dalam Motorcycle Show di Sao Paulo dalam waktu dekat, bersanding dengan Ducati 916 Senna.
Perppu Kegentingan MK
Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.
Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.
Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.
Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).
Perekrutan
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.
Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.
Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.
Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.
Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.
Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.
Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.
Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.
Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.
Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.
Revisi UU
Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.
Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.
MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.
Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.
Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.
Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.
Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
}rȒ~g1UjLk_hnH"V(ԯyy?eff$eK-n8ҹÈnK"Q}22sٍb*K)}W*{(<-ON APގOX/\-+H&ˁ k`6f'/7(+a,ܜ<[װCox0o:³[4 o DҲ7oدR*t4zXdmeu"F;ҿjxWJ v5Lt-f7N T⾩T$8m-{TIז[HϢǢsJ}Ag@H&E12ޛ=>ۭ>R:ܖ.c0U1;q߲[VpXogv$F2RݪT'e64((KRZms_eb`$X grlxNX1y{m];,-)>]zsyn<$AoUcaޕ^ܵt&bGÿc;Z٨ǡJ3J@%WORߏV$-`WWg3ﯠ;ٰp{U|{U`|X2X1ٯ6Cf$s8R)-~KJ햳TTd(Xb1PI~0 bIED+@5g c݈I} p8t[|zʡ?~aXdDܥXǼllrA+0hyn4qoZEr6Vol:ׂVBsQ<<(ah_Lq8Ѕﯸ뾢 OO0Mkyݏ ʚS RРWou{o)i2ws"5n,^Y;Xߛ}wk暵EL2 ;P<
Y'Bh>B!FR15P=6j(ԈI( TeIQ~^KUq\ǏyZS0je)�OpܷLs.{Q9 |C'yʅ471*ܟ $]HcwXT$Jf1Z,L/ BK ͕UV"ZJԪUsRVn"ES%Dz(.b M tS;)4aFLBX QL#Ne*^XVfN]~b\'\ jԬ-%GaT-]ӠbST+k')v-Fjr{ױ4U@j>* GFpBxLtM K3k/90߲#iGbaStF\d],)4eZT&KҏnEcqgQ@uNqC~dl5&N;Hl,lw 8o6$1wn|VI9CsERirSVjZJRPLe-<
(L">ta`@Ϲ! 7b5hHh@T'{Z_0nߏ.?},+^S~^Q]~a} ;Yz$]/oA&,}b M$|npVÇm,1Z\[*;Yr(T,#9$n#yr-mb`l)$hJ3 'a{'\+'hy:P'@yY`"*opW#0UZM+:$#)4 Y= 2,%0=RK hi r6pu4le)GG?rqOmv8*; y%jk`LJi]VRm^Kz^xj֖rN@t@BSЯK ܉3c(pQ 0 :A1Z2?9^Ŀn?;@hG8b1ܘ9
58,-5hN0ho\y`pqC` ]F)SFXxS`4Dbk~8yg>ρY{4rath A8vc_G4~7ixH(0SBzQzrv<6/,;l4*"JS}CNASyi/ 5)mIѤ|mN+n$Pµs/=>ĞNl&s"*`NTa0A.Wzbnq/,.w뢉!s1*X$3`7?:@zZ]k-0RVlzuK/@wڒ|/T.1P. fhT>0LөX5!&v)t2St qهv K#Ϥ:A4yOT叔AN**Ҝ&ht)v%ϣx&?(yĀdB.A6hIɘdh'P@^@w})XW%z30+# _@fnw9s7q߸ֵRʭr975k殧W=/?jK[ Rmv&͘],ItmFP#|rYðwY>>#?C7 }a?Uf9w?X CnIt?yĂ7PiH9"a23ǂz|P>` 5FhQ~@ U\Jf\f̂;PV<7G.a-Rn9 Q,"]ִhc<*/K?&w(ߗ=L(1u+XH}R>PһT$ L@oBbҌQiMS>].COz/:wS;JcA{=XA Ԧ`b)@Y%OkDŽ{"4zK:ǘ4UP>sk$N(΅Ta>6 Imȓ?TɁbG04sN"&?Cbjߪ+eg$LIJ%feQL3Qd08{9\?W=c[ϩWV*d;Vz^"zZ֖L9Y"/$q:|\ֱ|&i KhZaTP b1I5Je`jmۏ>:_*ˋ|Ӂ4+Fst KN#9AeDmY$&c)ɐGC ,6S2&1 I;S.ߊOĀvέ1$ 4:eˎ͜rtv{q.m<*mf5VWkJz~yWz (x[rsԥQ@g:AW4mG&Nw17u(R p\w1Fyre\Vր/oa?nOXˎp^|R[,S]0iA\tFcN;ܩS,!*NO~p<}gFȥi:-Vtdz.G6dAtn=eI} " fmK/BX0XCg靔2ʅN(ֽ5B:^Bˑ.JN,@Q!r&t_UUV^]>oܭퟔ
Ducati Panigale 1199 S Edisi Ayrton Senna
Written By Unknown on Selasa, 07 Oktober 2014 | 13.00
Kampanye "Seatbelt" Manfaatkan Payudara
#Seatbeltb00bing muncul dari Rumania, sebagai metode kampanye menggunakan sabuk keselamatan di mobil. Supaya lebih menarik, para wanita diminta mengabadikan foto atau video ke arah payudara yang sudah mengenakan sabuk keselamatan untuk diunggah ke jejaring sosial.
+ Index Video
Soundtrack Frozen Jadi Lagu Favorit 2014
Lewati untuk mencari.
- Pengguna Baru? Daftar
- Sign In
- Bantuan
- Mail
- Yahoo
- Awal
- Ramadan
- Jentik Ungu
- Nasional
- Politik
- Kriminal
- Hukum
- Nusantara
- Kotakita
- Internasional
- Bisnis
- Kiat Keuangan
- Teknologi
- Yang Canggih
- Technostorm
- Tekno60
- Blog
- Jagat Pintar
- Newsroom Blog
- Travel
- Dalam negeri
- Luar negeri
- Berita wisata
- Kiat
- Galeri
- Selalu Lebih Seru
- Gaya Hidup
- Rumah
- Sahabat Bumi
- Otomotif
- Video
- Foto
- Arsip
- Terpopuler
- Bilik Suara
Ducati Panigale 1199 S Edisi Ayrton Senna
Written By Unknown on Senin, 06 Oktober 2014 | 13.00
Bologna, KompasOtomotif – Dua puluh tahun sepeninggal superstar F1 asal Brazil, Ayrton Senna, Ducati menawarkan versi spesial Panigale 1199, eksklusif untuk pasar Negeri Samba. Hanya tersedia 161 unit, diproduksi untuk menghormati Senna sekaligus warga Brazil. Dijadwal, Juni 2014 edisi khusus sudah ada di showroom.
Warna spesial abu-abu dengan pelek merah adalah pilihan Senna ketika mengunjungi pabrik Ducati, hanya beberapa minggu sebelum balap terakhir merenggut nyawanya di Imola pada 1994. Model ini akan dilengkapi saluran gas buang khusus balap, dengan model diberi nomor produksi di sekitar garpu depan.
Sebenarnya, ini bukanlah pertama kali Ducati melepas edisi khusus Senna. Pada 1995 ada 916SP dengan warna yang sama, diproduksi hanya 300 unit. Varian itu kemudian disebut 916 Senna I, lalu diikuti 916 Senna II dan III pada 1997 dan 1998.
Ini adalah bagian dari kesepakatan kerjasama bersama Senna Foundation, memberikan sumbangsih sosial dan edukasi kepada masyarakat. Panigale 1199 S Senna nomor 1 dari 161 akan dipajang di stan Ducati dalam Motorcycle Show di Sao Paulo dalam waktu dekat, bersanding dengan Ducati 916 Senna.
Perppu Kegentingan MK
Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.
Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.
Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.
Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).
Perekrutan
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.
Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.
Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.
Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.
Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.
Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.
Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.
Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.
Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.
Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.
Revisi UU
Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.
Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.
MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.
Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.
Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.
Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.
Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
}V\Eo>B@`Ix4Ԛ#3`jr-zFN!{͏M`o EjJL+FVjYN TiT$8m3=}:rߤk-ϔ7Ǣ;i>ǟ>2NTB(xoao'SY%{*~ s X; +v `ǰdӿ_'AI$뛃1c9de5vfU)O} 8I+w1LvDv`w*N[Gq.Gw~mV|+?5\vsvxKz^{a֗]< u̓p5GaA䰋 582TZOCBa䁭46P @wA^t2`rҝ\fKO9%V,Z/*b+'PzbSgNvkeZs#6r[+ắhܧ᧩j8:ŁFͿ=P՛l]썵/DJ|fEv7{QNMD, ߙqjzsYw%I[!..((si\@f`fdA{rѪ샞kDW yXEN%; VmǾQ*Q*TnTT>Aܑ|JRUkO^GuvsP͓w$<@؉p%D05?t<+K;!H@MqPG '3M?"' 5-,#`"'@ЧX|GC-j^N8KDfO°pٱ}C$}|1;; v]TUo3][ d&~)!rvDz:ZnV{^܂sӖfD٧Z= -;hDOZ?cKET@.ЀkG)#ǫjRU7DvkӛAuYfk 8:yVVrF_pޓTB#6` 8S }'Q\1 tk {{%}\T5JPOwyz҂~WriX?eȡD }Ɨ:uGOإLYpXC'\i \J<2wp7XšՕ"Vox8*Q47.`ǐܒ_]h$}qWf7wFӪyUSmv܌̶{^^z] (7 MpP{'qAk;عgpBBSXU,sF Z`~ᓧ^Z>&v`qaݸ@UJ0dG2>$b<<Ca8tC?=~ (~\6g?|BB2F GS4Stq MWxe]{;f\N1c_wdz+0A&ؗcIietvGr8.\ U4YyYXGٸc2-Ȃ0? ؒEXOR'YF? \CFA=h p
Ducati Panigale 1199 S Edisi Ayrton Senna
Written By Unknown on Minggu, 05 Oktober 2014 | 13.00
Bologna, KompasOtomotif – Dua puluh tahun sepeninggal superstar F1 asal Brazil, Ayrton Senna, Ducati menawarkan versi spesial Panigale 1199, eksklusif untuk pasar Negeri Samba. Hanya tersedia 161 unit, diproduksi untuk menghormati Senna sekaligus warga Brazil. Dijadwal, Juni 2014 edisi khusus sudah ada di showroom.
Warna spesial abu-abu dengan pelek merah adalah pilihan Senna ketika mengunjungi pabrik Ducati, hanya beberapa minggu sebelum balap terakhir merenggut nyawanya di Imola pada 1994. Model ini akan dilengkapi saluran gas buang khusus balap, dengan model diberi nomor produksi di sekitar garpu depan.
Sebenarnya, ini bukanlah pertama kali Ducati melepas edisi khusus Senna. Pada 1995 ada 916SP dengan warna yang sama, diproduksi hanya 300 unit. Varian itu kemudian disebut 916 Senna I, lalu diikuti 916 Senna II dan III pada 1997 dan 1998.
Ini adalah bagian dari kesepakatan kerjasama bersama Senna Foundation, memberikan sumbangsih sosial dan edukasi kepada masyarakat. Panigale 1199 S Senna nomor 1 dari 161 akan dipajang di stan Ducati dalam Motorcycle Show di Sao Paulo dalam waktu dekat, bersanding dengan Ducati 916 Senna.
Perppu Kegentingan MK
Oleh Mohammad Fajrul Falaakh
DALAM studi perbandingan konstitusionalisme, khususnya jurisprudence of constitutional review, kehadiran Mahkamah Konstitusi pada tahap awal memang selalu mengundang kontroversi.
Di kawasan Asia Pasifik, MK Korea Selatan merupakan salah satu contoh yang mengemuka. Akan tetapi, tragedi (mantan) Ketua MK Akil Mochtar tertangkap tangan menerima suap di rumah dinas serta diduga mengonsumsi narkotika dan bahan adiktif di kantor menempatkan Indonesia pada peringkat aneh.
Sebagai barang impor, transplantasi MK di Indonesia tak disemaikan secara baik. Dua di antara bahan racikan penting yang hendak dibenahi adalah perekrutan dan pengawasan hakim konstitusi. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) akan digunakan mengatur MK dalam kegentingan.
Desain perbaikan itu belum jelas. Namun, sistem perekrutan hakim MK memang menjauh dari standar internasional, demikian pula sistem pengawasannya, tanpa peran preventif-eksternal lembaga konstitusi. Aspek pertama sudah saya sampaikan dalam makalah kepada lembaga kepresidenan melalui Dewan Pertimbangan Presiden (2008). Sikap MK terhadap aspek kedua pun sudah saya kritisi (Kompas, 11/7 dan 4/9/2006).
Perekrutan
Standar internasional perekrutan hakim, misalnya Basic Principles on the Independence of the Judiciary (Resolusi PBB 1985 Nomor 40/32 dan Nomor 40/146) dan Beijing Statement of Principles of the Independence of the Judiciary in the Law Asia Region (1997), menuntut perekrutan hakim sebagai berikut.
Pertama, calon hakim memiliki integritas dan kemampuan dengan kualifikasi dan pelatihan yang layak.
Kedua, sumber perekrutan bervariasi, yaitu hakim karier, pengacara, dan akademisi, tetapi sebaiknya lebih banyak dari karier.
Ketiga, tidak ada satu cara tunggal untuk merekrut hakim. Namun, perekrutan itu harus menjamin kebebasan motivasi yang tidak tepat: tidak ada diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik atau lainnya, asal-usul sosial, kekayaan, dan kelahiran atau status.
Keempat, jika proses perekrutan melibatkan eksekutif dan atau legislatif, politisasi harus dikurangi. Seleksi oleh suatu komisi yudisial merupakan metode yang dapat diterima, dengan catatan hakim dan pengacara terlibat secara langsung atau tak langsung dalam prosesnya.
Berbeda dari perekrutan hakim agung yang melibatkan Komisi Yudisial, perekrutan sembilan hakim MK ditentukan lebih umum melalui model split and quota dengan memberi jatah Presiden, DPR, dan MA ”memajukan” tiga hakim.
Tiga lembaga berkuasa menentukan hakim konstitusi. UU MK 2003/2011 hanya menentukan prinsip bahwa pencalonan dilakukan secara transparan dan partisipatif, sedangkan pemilihan dilakukan secara akuntabel tetapi pengaturannya diserahkan kepada masing-masing lembaga.
Sejak awal DPR melakukan perekrutan secara terbuka. Berarti kewenangan memajukan hakim konstitusi bukanlah prerogatif DPR, MA, ataupun presiden. Syarat transparansi dan akuntabilitas perekrutan juga menegaskan bahwa pengajuan hakim konstitusi oleh ketiga lembaga itu bukanlah prerogatif. Jadi, prinsip dasar untuk mengurangi politisasi perekrutan yudikatif diharapkan dapat dihindari meski pihak legislatif dan eksekutif terlibat dalam proses tersebut.
Namun, MA tak pernah transparan, presiden mengumumkan pencalonan tanpa transparansi hasil seleksinya pada tahun 2008 dan tanpa transparansi lagi pada perekrutan tahun 2010 dan 2013, sedangkan keterbukaan perekrutan oleh DPR hanya untuk melegitimasi penjatahan hakim konstitusi bagi sejumlah anggota Komisi III (2003, 2008, 2009, 2013). Hasil akhirnya adalah dominasi ”koalisi pendukung presiden” di tubuh MK.
Perekrutan yudikatif mengalami politisasi dalam bentuk kooptasi yudikatif oleh koalisi dan distribusi kepentingan sesuai konfigurasi politik di Komisi III DPR. Pada zaman Presiden Soeharto digunakan konsep negara integralistik untuk mendudukkan hakim agung melalui clearance dari kepala negara. Kini digunakan formula ”koalisi pemerintahan presidensial”. Dapat dipahami bahwa gagasan negara hukum (dalam arti konstitusionalisme, bukan rechtsstaat atau rule of law) selalu tertatih-tatih.
Revisi UU
Tanpa amandemen konstitusi, revisi UU KY dan UU MK dapat mengatur perekrutan hakim konstitusi dengan memerankan KY sebagai panitia seleksi. Presiden, DPR, dan MA sudah terbiasa dengan seleksi hakim agung oleh KY. Ketiganya dapat memilih calon-calon yang lolos seleksi KY. Cara ini menguatkan peran KY, menghindari penunjukan anggota partai di DPR, oleh presiden ataupun oleh atasan (MA), dan menyumbang independensi MK.
Sejak dini, MK menolak pengawasan eksternal oleh lembaga konstitusi sekalipun. Putusan MK Nomor 005/PU-IV/2006 memberangus kewenangan KY untuk mengawasi hakim konstitusi. MK menyatakan bahwa hakim konstitusi berbeda dari hakim selain di Indonesia karena hakim konstitusi bukan profesi tetap, melainkan hakim karena jabatannya. Padahal, hakim adalah jabatan kenegaraan dan hakim MA juga berasal dari kalangan nonkarier.
MK mengulang sikapnya dengan membatalkan keanggotaan unsur KY dalam majelis kehormatan MK berdasarkan UU Nomor 8/2011 (Putusan Nomor 49/PUU-IX/2011). Atas nama konstitusi, MK menerapkan pengawasan eksternal pada hakim agung, tidak pada dirinya.
Tautologi MK itu irasional dan inkonstitusional. Akibatnya, hakim MK ”harus tertangkap tangan dulu” agar fungsi pengawasan represif-internal oleh majelis kehormatan bekerja. Fungsi preventif-eksternal, bahkan sekadar internal, tidak ada sama sekali.
Sebaiknya KY juga diperankan secara preventif, bukan hanya represif, dalam pengawasan hakim konstitusi. Setelah usia pensiun hakim konstitusi dinaikkan 70 tahun, melebihi jabatan kenegaraan mana pun, malah model pemakzulan presiden juga layak diterapkan atas MK.
Kalau MK dibubarkan, masih ada beragam institutional design lain untuk melakukan constitutional review.
Mohammad Fajrul Falaakh, Dosen Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik:
}V d}i^@g23dl}qfe*u&0{G1*GURU_<(VRzŤ?l~~!o8f؛A7]UcĔb5[ժUu=#oj0 L>oҹc={샌S羌Ja?eUVޤB:m1f]%B&"b٩싄Kv8ʚroZM~ 5J~#94x1J1J屑m(;OH*JUT+q2Y,saqiGdOjT,o?ۣ{vx'>}ܗj]h9xn$UoT0qW6K_*aLhp`_o'Sv2>%_5믘pê++F#N) e+^֥{?^\].Y GDhFQCX,X`-%?@K_DT0%bh*g|ϓ0 ;c| DЦ_AӹkPr"VekՅ́:S)N;vHL [2t*BPd?h8p4QASMMmB3NjGixM=:F?b_ }E]~ w:HT2[hC^ɦyH+ W WC՛p9 ܵʼB/4MB8!9ػ8wǹ;]s瘚I%, pT@`P\҃Ѣuscv$NuT`'A0r%CFv4(e!1#9d8xߪ!\mW&nrZ:{k1OWV\]%3{[8cEKfC`,A