Politik Berjaya, Rakyat Merana ...
KOMPAS.com - Wajar saja jika banyak pihak menertawakan pemerintah pusat. Di satu sisi menyadari sebagian besar daerah otonom baru gagal menyejahterakan rakyat. Akan tetapi, pada sisi lain membiarkan pemekaran terus berjalan.
Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi mengatakan telah mengevaluasi 205 daerah otonom baru (DOB) yang dibentuk selama 1999-2009, yang meliputi 164 kabupaten, 34 kota dan 7 provinsi. Hasil sementara: tata kelola daerah dan pelayanan publik belum memuaskan. Perilaku para pemimpin di DOB itu belum berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Bahkan, Gamawan menyimpulkan sekitar 70 persen DOB tersebut gagal.
Kesimpulan itu sungguh benar. Saat ini yang menonjol dari DOB adalah perebutan kekuasaan dan uang. Para penguasa atau elite politik setempat sibuk menebarkan pengaruh dan menggalang dukungan agar bisa terpilih menjadi kepala daerah atau anggota legislatif. Waktu mereka pun habis tersita oleh urusan merebut dan mempertahankan kekuasaan sebagai bagian dari upaya memperkaya diri dan keluarga.
Setelah terpilih, para bupati, wali kota dan gubernur gemar mempromosikan diri yang berkedok promosi daerah. Hampir di setiap sudut kota dan desa serta media massa selalu terpampang gambar para pejabat yang bersangkutan.
Sebaliknya, terobosan dan inovasi untuk menggali dan mengembangkan potensi ekonomi daerah bagi perbaikan serta peningkatan kesejahteraan rakyat hampir tidak tampak. Tidak mengherankan, setelah bertahun-tahun pemekaran pun sebagian besar masyarakat setempat tetap hidup miskin, tidak jauh beda dibandingkan saat daerah itu belum dimekarkan.
Minimnya kreativitas pemerintah daerah ini membuat pendapatan asli daerah tetap rendah. Biaya pembangunan, termasuk belanja pegawai masih tetap mengandalkan subsidi dari pusat. Mutu pendidikan tetap rendah, gizi buruk tetap tinggi, indeks pembangunan manusia juga tetap buruk.
Adapun yang menonjol hanya adanya gedung-gedung pemerintahan yang megah dan baru, serta jalan beraspal. Akan tetapi, pembangunan fisik itu pun sebagian besar masih disokong dari pusat. Sektor swasta yang diharapkan dapat menghidupkan ekonomi lokal tidak berkembang optimal, sebab sering menjadi ”sapi perah” penguasa setempat.
Tidak bertaring
Kesadaran tentang kegagalan DOB sebetulnya sudah lama timbul. Pemerintah pusat pun kemudian memberlakukan kebijakan moratorium pemekaran daerah pada awal 2009. Namun, kebijakan ini seolah tidak bertaring. Di lapangan, pelaksanaannya selalu bertolak belakang.
Dengan berdalih aspirasi rakyat, pemerintah daerah bersama DPRD setempat terus-menerus mengusulkan DOB kepada Kemendagri, DPR, dan DPD. Dengan dalih yang sama, kedua lembaga legislatif pun membuka ruang yang lebar untuk proses pemekaran daerah. Saat ini ada sekitar 150 usul DOB yang masuk ke DPR. Sedikitnya 7 daerah di antaranya akan dimekarkan pada awal tahun 2013.
Anehnya, pemerintah pusat pun seolah mengikuti saja arus yang ingin pemekaran. Ketidakberanian dalam bersikap itu memupuk nafsu pembentukan DOB kian tidak terkendali. Jangan heran bila kemudian pemerintah dituduh melakukan moratorium setengah hati. Apalagi kebijakan tersebut tanpa disertai aturan yang jelas dan tegas.
Hingga tahun 2007, negeri ini hanya memiliki 287 kabupaten/kota dan 26 provinsi (setelah Timor Timur merdeka). Namun, akhir Desember 2012, jumlah itu membengkak jadi 512 kabupaten/kota dan 34 provinsi. Itu termasuk 12 DOB yang meliputi 11 kabupaten/kota dan satu provinsi yang terbentuk pada November dan Desember 2012.
Jumlah itu bakal meningkat lagi sebab nafsu untuk melakukan pemekaran daerah masih tinggi. Data yang dihimpun Kompas menyebutkan, hingga tahun 2025 jumlah provinsi di Indonesia bakal mencapai 55 provinsi. Calon provinsi baru itu, antara lain Cirebon (Jawa Barat), Kapuas Raya (Kalimantan Barat), Flores (Nusa Tenggara Timur), dan Papua Tengah (Papua). Bahkan, di Jawa Barat akan bertambah lagi 18 kabupaten/kota.
Persiapkan lebih matang
Selama ini ada berbagai persyaratan yang wajib dipenuhi satu daerah yang ingin menjadi DOB. Misalnya, kependudukan, kemampuan ekonomi, potensi daerah, dan kemampuan keuangan dari calon DOB itu.
Akan tetapi, mengapa setelah beberapa tahun dimekarkan daerah baru tersebut belum juga mandiri dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya? Jangan-jangan ada manipulasi data dalam proses pemekaran!
Memang, menutup rapat pemekaran daerah saat ini bukan pilihan terbaik. Akan tetapi, pemerintah perlu mengevaluasi semua DOB. Evaluasi diperlukan untuk mengetahui apakah pemekaran sudah sesuai tujuannya? Jika gagal, di mana kendalanya dan apa sanksi yang diberikan kepada daerah tersebut?
Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sesungguhnya sudah jelas diatur soal sanksi bagi daerah yang gagal menjalankan pemekaran. Akan tetapi, ketentuan tersebut seolah macan ompong. Terbukti, hingga kini belum satu DOB pun yang gagal digabungkan kembali.
Harus diakui, kelemahan utama dalam proses pemekaran daerah selama era reformasi ini adalah persiapan yang kurang matang. Persiapan yang dilakukan sebatas memenuhi persyaratan yang ditentukan perundang-undangan tanpa disertai penyiapan potensi ekonomis yang nantinya diandalkan untuk memicu kemandirian daerah.
Pada era Orde Baru, persiapan daerah otonom baru pernah diberlakukan. Jika suatu kota hendak dijadikan kota madya harus terlebih dahulu menjadi kota administratif. Selama bertahun-tahun, daerah ini dipersiapkan dalam segala aspek. Usulan menjadi kota madya baru dilakukan setelah dinilai benar-benar siap.
Pola ini perlu ditiru. Tujuannya agar proses pemekaran daerah dipersiapkan lebih matang tanpa didominasi kepentingan politik segelintir orang. Pemerintah juga dituntut aktif berinovasi dan lebih kreatif menggali dan mengembangkan potensi calon daerah otonom baru. Dengan demikian, manisnya pemekaran dapat langsung dinikmati masyarakat begitu daerahnya menjadi otonom penuh. (JANNES EUDES WAWA)