JAKARTA, KOMPAS.com — Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang diajukan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak Gayus Halomoan P Tambunan atas tindakan korupsinya sebagai pegawai pajak saat menangani keberatan pajak PT Surya Alam Tunggal (PT SAT). Bahkan, hukumannya ditambah hingga menjadi 12 tahun penjara.
Masih jelas di ingatan ketika Gayus membuat heboh karena bepergian dengan paspor palsu di tengah masa tahanan. Persidangan pada bulan Oktober 2011 menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk Gayus atas perbuatan ini.
Di persidangan yang lain lagi, Gayus kembali menerima vonis delapan tahun penjara karena terlibat dalam kasus penggelapan Rp 370 juta dari PT Megah Citra Raya untuk mengurus pajak perusahaan itu.
Terakhir, Gayus harus menerima vonis delapan tahun penjara plus denda Rp 1 miliar dari Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta karena terbukti melakukan pencucian uang dan menyuap petugas Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok. Hukuman ini bertambah berat dua tahun dari vonis sebelumnya, yakni vonis enam tahun penjara dan denda Rp 1 miliar dari Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta karena menerima gratifikasi terkait pengurusan pajak serta memiliki uang 659.800 dollar AS dan 9,68 juta dollar Singapura yang diduga gratifikasi.
Berdasarkan keempat putusan ini, jika vonis kasasi dijumlahkan, total hukuman yang diterima Gayus adalah 30 tahun penjara. Namun, sebenarnya berapa lama Gayus harus mendekam di penjara?
Berbeda pandangan
Pakar hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Nyoman Serikat Putra Jaya, menjelaskan, berdasarkan Pasal 71 UU KUHP, jika seseorang dinyatakan bersalah setelah putusan atas kesalahan sebelumnya, dalam penjatuhan pidana, ia dianggap diadili dalam waktu bersamaan.
"Pasal 71 itu tepatnya berbunyi: jika seseorang setelah dijatuhi pidana kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama," ujar Nyoman saat dihubungi, Selasa (6/8/2013).
Hal itu, katanya, berlaku dalam kasus Gayus. Ia mengatakan, meski berkas perkara Gayus disidangkan dalam empat peradilan, pemidanaan atas yang bersangkutan dilakukan sesuai ketentuan Pasal 71 KUHP itu atau berdasarkan asas concursus realis.
Nyoman mengatakan, asas concursus realis itulah yang tidak diperhatikan penegak hukum dalam memproses perkara Gayus. Itu sebabnya, tuturnya, sampai ada tafsir yang mengatakan Gayus harus mendekam di penjara 30 tahun.
"Tidak jadi dijumlahkan semua, lalu dipenjara 30 tahun. Pemidanaannya diatur di KUHP," katanya.
Tetapi, dia menambahkan, dalam Pasal 12 Ayat (4) KUHP dinyatakan, pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun. Maka, kata dia, berdasar ketentuan tersebut, Gayus akan dipenjara paling lama 20 tahun.
Pengamat hukum pidana dari Universitas Indonesia, Ganjar L Bonaprapta, mengatakan, sistem hukum yang dianut Indonesia tidak mengenal asas pemidanaan akumulasi murni. Menurutnya, KUHP mengatur, pemidanaan menggunakan asas pemidanaan akumulasi terbatas.
Dia mengatakan, penjatuhan hukuman terhadap seseorang atas beberapa tindakan kejahatan yang dilakukannya memang diakumulasikan. Hanya, kata dia, akumulasi vonis itu maksimal seberat ancaman hukuman terberat ditambah sepertiga ancamannya.
Menurut Ganjar, dalam kasus Gayus, ancaman terberat yang menjerat yang bersangkutan adalah 20 tahun penjara, yaitu untuk perkara terkait PT SAT. Dengan demikian, ujarnya, hukuman atas Gayus tidak boleh lebih dari 20 tahun plus 6 tahun 4 bulan (sepertiga dari 20 tahun).
"Itu didapat dari ancaman hukuman terberat plus sepertiga. Ancaman hukuman terberat, 20 tahun penjara," jelasnya saat dihubungi, Jumat (2/8/2013).
Hanya, menurut Ganjar, itu berlaku jika semua kejahatan Gayus dituangkan dalam satu berkas perkara dan diadili dalam satu peradilan. Tetapi, pada kenyataannya, proses hukum terhadap Gayus dilakukan berdasar empat berkas yang berbeda. Keempat perkara itu telah berkekuatan hukum tetap.
"Kalau sudah kasasi seperti ini kan, artinya semua hukuman harus dijalankan. Total 30 tahun penjara, berarti," lanjutnya.
Seberat-beratnya
Sementara itu, pengamat hukum pidana dari Universitas Padjadjaran, Yesmil Anwar, mengatakan, sistem hukum Indonesia secara normatif menganut pemidanaan sesuai vonis yang tertinggi. Tetapi, katanya, penegak hukum harus menerapkan hukum progresif. Artinya, tegas Yesmil, penegakan hukum harus menjangkau rasa keadilan masyarakat.
Dia mengatakan, Gayus, dalam melakukan kejahatannya, telah memperhitungkan untung dan ruginya jika kemudian diberi sanksi atas kejahatan yang dilakukannya. Menurutnya, lebih menguntungkan Gayus jika ternyata sanksi yang diberikan kepadanya hanya sanksi yang ringan.
"Dengan kata lain, itu tidak membuat jera dia (Gayus). Malah lebih enak korupsi karena sanksinya pun tidak memberatkan," katanya saat dihubungi, Rabu (7/8/2013).
Dia mengapresiasi langkah jaksa yang menangani perkara Gayus dengan memisahkan berkas perkaranya untuk diadili dalam empat peradilan. Untuk itu, katanya, pemidanaannya juga harus dilakukan dengan seberat-beratnya bagi Gayus.
Hal serupa disampaikan oleh pakar hukum dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Soedjito. Menurutnya, dari sudut pandang sosiologi hukum, tindak pidana yang dilakukan banyak dilakukan Gayus merupakan kejahatan yang melukai keadilan sosial.
Gayus melakukan kejahatan berkali-kali mulai dari menjadi mafia pajak, mafia hukum, pencucian uang, memalsukan paspor, hingga menyuap petugas rumah tahanan. Dia menilai, dalam perkara Gayus,keadilan sosial hukum masyarakat harus turut dipertimbangkan.
"Masyarakat tentu punya hak juga untuk dipertimbangkan aspirasinya terkait pidana yang berlaku," kata Sudjito saat dihubungi, Selasa (6/8/2013).
Guru Besar Hukum UGM itu mengatakan, rasa keadilan masyarakat tidak akan terpenuhi jika hukum normatif saja yang ditegakkan. Dalam hal Gayus, tegas Sudjito, yang bersangkutan harus diberi hukuman seberat-beratnya. Artinya, kata dia, tidak melanggar hukum jika semua hukuman Gayus diakumulasikan secara murni.
"Masyarakat ingin betul keadilan sosial. Ini bisa diatasi dengan menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada semua yang terlibat dalam kasus itu. Bukan hanya Gayus, tapi semua mafia pajak dan mafia hukum itu," katanya.
Tergantung hakim
Sementara itu, meski juga sepakat dengan prinsip pemidanaan yang diatur Pasal 65 KUHP bahwa pemidanaan seseorang terhadap kejahatan-kejahatannya harus dilakukan berbarengan dengan prinsip akumulasi terbatas, pengamat hukum Universitas Parahyangan, Agustinus Pohan, punya pendapat yang berbeda.
Dia sepakat bahwa meskipun berkas Gayus telanjur disidangkan terpisah, penjatuhan hukumannya tetap dilakukan berdasar perhitungan ancaman terberat plus sepertiga ancaman terberat itu. Namun, tanpa menyebut angka pasti mengenai berapa lama Gayus harus mendekam di penjara, Agustinus berpendapat bahwa hakimlah yang paling berwenang menentukan.
"Kalaupun berkas Gayus dipecah-pecah harus dihitung begitu. Yang menghitung itu hakim. Dia harus perhatikan putusan atas perkara yang sudah diadili sebelumnya. Tafsir hukum mengatakan demikian. Kejahatan Gayus kan sudah diketahui dalam waktu bersamaan," tegas Agustinus.
Tetapi, Kepala Biro Hukum dan Humas MA Ridwan Mansyur, ketika dikonfirmasi, mengaku belum mendapat informasi mengenai hal itu dari hakim-hakim yang menangani kasasi Gayus.
"Saya belum mendapat informasi," kata Ridwan, Sabtu (3/8/2013).
Jadi, berapa lama sebenarnya Gayus harus mendekam di penjara nanti?
Editor : Caroline Damanik
Ikuti perkembangan berita ini dalam topik: